Politik Pencitraan, Boleh kah?

Oleh : MUHAMMAD AKBAR

Mahasiswa Magister Manajemen Inovasi Universitas Teknologi Sumbawa.


Di negara kita Indonesia, pencitraan politik sebagai salah satu konsentrasi kajian dalam komunikasi politik, mulai merebak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1999, yang semakin berkembang dan atraktif setelah penerapan sistem pemilihan langsung dalam Pemilu 2004, hingga Pemilu 2009. Seiring dengan perubahan sistem politik, utamanya dalam Pemilu 2009, dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan pencitraan politik yang dilakukan politisi, baik secara institusional maupun individual, semakin beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang terkadang mengabaikan etika politik. 

Pertama, pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya, moment hari-hari besar, perayaan Hari Kemerdekaan dan lain-lain. Pada umumnya, partai maupun kandidat, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mencitrakan apa yang disebut Nimmo (1993) sebagai “diri politik” sang politisi. 

Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau “menunggangi” pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Tampil menjadi pembicara di sebuah forum, berpartisipasi dalam event-event olah raga, mensponsori kegiatan-kegiatan sosial dan lain-lain. Ketiga, tie-in publicity yakni memanfaatkan extra ordinary news-kejadian sangat luat biasa. Peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang misalnya. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah peristiwa luar biasa, selalu menjadi liputan utama media, sehingga partisipasi didalamnya sangat menguntungkan. 

Keempat, paid publicity yakni cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, iklan, blocking time program, dan lain-lain Seiring dengan itu, lembaga konsultan politik/agen pencitraan, yang melayani proyek pencitraan dari hulu sampai hilir, mulai dari pemetaan kelemahan dan kekuatan klien, survei opini publik, perumusan konsep iklan, pembuatan tagline (slogan), materi iklan, penempatan iklan di media, manajemen isu, hingga pengaturan acara klien, tumbuh bak jamur di musim hujan.

Pencitraan di dalam politik sebenarnya lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya, citra lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat oleh pemilih, tetapi citra merupakan negosiasi, evaluasi dan konstruksi oleh kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama. Dengan kata lain, keyakinan pemilih tentang kandidat berdasarkan interaksi atau kesalingbergantungan antara yang dilakukan oleh kandidat dan pemilih.

Citra yang baik, dengan sendirinya akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas kandidat, begitupun sebaliknya. Sehingga, tidak salah bila politisi “jumpalitan” melakukan pencitraan politik. Karena semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk meraup dukungan pemilih semakin besar. Namun dalam konteks pembentukan citra, tidak sedikit yang kehilangan kekuatan penarik perhatian. Citra yang sebelumnya diharapkan mampu menciptakan kejutan, stimulasi, dan gebrakan informasi tak terduga berubah menjadi pengulangan-pengulangan yang terduga. Citra-citra berestetika dan berselera tinggi, karena kehabisan perbendaharaan tanda, pada akhirnya menjadi citra-citra yang murahan dan dangkal. Dalam konteks komunikasi politik, hal ini berlangsung saat citra-citra politik tampil dalam jumlah banyak, frekuensi tinggi, dan waktu cepat sehingga menyebabkan pesan yang disampaikan tidak lagi menarik perhatian publik.

Politik pencitraan sah menjadi sarana mencari endorsement elektoral. Namun para politikus perlu sadar bahwa politik bukan sekedar ajang mendapatkan dan/atau mempertahankan kuasa dalam pemilu saja. Ia harus berani melampaui politik pencitraan yang tidak hanya sekedar personalisasi belaka, namun juga mampu berbicara lantang soal gagasan dan karya nyata. Elite tidak boleh berhenti setelah pemilu berakhir. Mereka yang terpilih kelak harus mengusahakan terhapusnya sekat-sekat antara elite dengan rakyat, serta memperjuangkan aspirasi rakyat yang selama ini melekat pada dirinya akibat politik pencitraan. Begitu pula dengan masyarakat yang juga harus mampu melampaui politik pencitraan. Memilih pemimpin Indonesia masa depan utamanya bukan dinilai hanya berdasarkan citra politik semata, terlebih dengan citra politik setting-an,

Sebenarnya politik pencitraan bukan hal yang tabu untuk dilakukan. Ibarat pedang bermata dua, politik pencitraan bisa berdampak positif juga negatif. Sebenarnya pencitraan ini juga diperlukan dan tujuannya juga tidak sepenuhnya buruk. Karena kembali lagi dengan menunjukkan segala sikap secara langsung, masyarakat bisa lebih merasakan atensi para politisi tersebut dan juga bisa menilai sejauh mana mereka bisa melakukan tugas dan tanggung jawabnya.

Namun, kita juga perlu melihatnya dari sisi kelemahan, yang mana politik pencitraan ini sering kali membutakan publik. Yang awalnya masyarakat bisa merasakan atensi dan empati para politisi ini ketika kampanye, tetapi setelah menang dan menjabat, malah berbanding terbalik. Nah, kalau dilihat dari dua sudut pandang ini tentu sering malah membingungkan kita bukan? Itulah sebabnya kita sebagai masyarakat perlu dengan cermat memilah dan merespon segala tindakan para politisi dengan cermat. Sehingga keputusan yang kita buat untuk memilih calon pemimpin kita nanti di Tahun 2024 tidak ditunggangi oleh rasa kekaguman secara implusif saja. (*)